Indeks Frustrasi Masyarakat

ALMARHUM Prof Arthur Okun, salah satu ekonom kubu Keynesian dari Universitas Yale, pada pertengahan 1960-an memperkenalkan konsep misery index (indeks kesengsaraan).

Indeks kesengsaraan diperoleh dengan menjumlahkan angka pengangguran dan angka inflasi. Baik pengangguran maupun inflasi memiliki dampak serupa,yaitu merupakan penggerogotan daya beli dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Sebelum Okun,para ekonom cenderung melihat konsep pengangguran (kesempatan kerja) dan inflasi sebagai dua hal terpisah,bahkan sering dipertentangkan.

Contoh paling jelas adalah yang dilakukan Alban Phillips (1958),yang pernah menyatakan ada hubungan terbalik antara tingkat inflasi dan pengangguran. Intinya, tingkat inflasi yang meningkat akan cenderung mendorong turunnya tingkat pengangguran, dan sebaliknya. Hubungan terbalik tersebut digambarkan dalam sebuah kurva yang disebut sebagai Phillips Curve.

Fenomena stagflasi (stagnasi dan inflasi) yang terjadi pada pertengahan 1960-an memaksa para ekonom dan pengambil kebijakan untuk melihat pengangguran dan inflasi secara bersama-sama.Pada masa sulit inilah McLeod memopulerkan istilah "stagflasi"dan Okun mengembangkan konsep "indeks kesengsaraan". Ada konsep lain yang biasa digunakan oleh para aktivis lingkungan hidup untuk menunjukkan bahwa pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan akan menguras sumber daya bumi, yaitu konsep indeks kelangkaan (scarcity index).

Konsep ini biasanya digunakan untuk menunjukkan kesulitan orang untuk mendapatkan air bersih, tanah subur, dan sebagainya. Belakangan, konsep ini diperluas penggunaannya, termasuk untuk mengukur seberapa sulit masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok dalam hidupnya. Indeks kesengsaraan di sejumlah negara berkembang menunjukkan peningkatan, meski pertumbuhan ekonomi secara rata-rata sebenarnya cukup bagus.Kondisi ini yang memunculkan istilah "kualitas pertumbuhan ekonomi yang buruk".

Bila pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak disertai dengan penciptaan lapangan kerja secara luas dan penurunan tingkat ketimpangan pendapatan, maka pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Istilah yang populer, yang terjadi bukan "trickle-down economy" melainkan "trickle-up economy". Dari sini muncul perdebatan paradigma pembangunan, yaitu mana yang lebih tepat untuk melahirkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, paradigma "equity before growth" atau "growth with equity"? Di sini terjadi perdebatan seru antara mazhab neososialisme dengan neo- Keynesian.

Bagi neososialisme, kualitas pertumbuhan hanya dapat diwujudkan melalui kelembagaan nonpasar, termasuk sejumlah langkah reforma agraria dan redistribusi kepemilikan aset,karena mekanisme pasar pada dirinya mengandung benih-benih destruktif dan lambat dalam melakukan koreksi diri. Bila indeks kesengsaraan dan indeks kelangkaan disatukan, maka tercipta apa yang disebut indeks frustrasi masyarakat (IFM).

Gejala meningkatnya indeks ini dapat dilihat dari sejumlah indikasi, seperti tingkat kesulitan mendapatkan pekerjaan produktif, kriminalitas (perampokan, mutilasi,premanisme) yang meningkat,kasus bunuh diri yang semakin banyak,meningkatnya jumlah pengemis dan anak jalanan,munculnya kasus-kasus kurang gizi parah, dan penyakit kronik, dan sebagainya.

Bagaimana dengan IFM di Indonesia? Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks kesengsaraan pada 2004 adalah 16,53, dan naik menjadi 19,47 pada 2008. Sementara dari tabulasi pemberitaan media massa,indeks kelangkaan meningkat dari 0,22 pada 2004 menjadi 0,42 di 2008. Seiring meningkatnya kedua indeks tersebut— yang sudah tentu menaikkan IFM—angka gini ratio yang mengukur ketimpangan pendapatan juga semakin memburuk, yaitu meningkat dari 0,32 menjadi 0,36.

Data pengangguran terdidik juga mendukung fakta di atas. Pada 2004, pengangguran terdidik— penganggur di atas sekolah menengah atas—berjumlah 4,28 juta, dan meningkat menjadi 4,51 juta pada 2008. Rata-rata waktu tunggu bagi para lulusan perguruan tinggi untuk masuk atau memperoleh pekerjaan juga meningkat. Sayang, data akurat untuk ini belum tersedia.

Indeks nilai tukar petani (NTP) yang sempat membaik secara berarti pada awal 2004 juga tergerus tajam pada akhir 2008. Penyebabnya tentu mudah ditelusuri,yaitu meningkatnya secara tajam harga input pertanian dan ketergantungan impor kita yang telanjur parah. Di luar hal ini, mungkin terdapat perubahan metodologis perhitungan berbagai indeks atau besaran di Indonesia.

Seperti yang sering kita dengar, angka-angka inflasi, pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya dengan mudah bisa berubah karena dasar-dasar perhitungan dan asumsinya diubah. Mengenai indeks kelangkaan, 2008 memang merupakan tahun berat, karena harga-harga komoditas meningkat luar biasa. Hampir tanpa henti media massa memberitakan fenomena antre di mana-mana: bensin, solar,minyak tanah,kedelai, susu, gula, semen, dan sebagainya.

Untuk sebagian hal ini lahir dari kebijakan pemerintah tentang konversi minyak tanah ke elpiji yang diterapkan secara tergesa-gesa. Untuk sebagian lain,hal ini terjadi karena sistem dan manajemen distribusi nasional kita masih kurang efisien. Struktur pasar pada mata rantai distribusi nasional kita cenderung kaku (rigid), mudah menyesuaikan tekanan ke atas dengan menaikkan harga,tetapi cenderung kebal terhadap tekanan penyesuaian ke bawah. Ini juga menjelaskan mengapa penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak diikuti penurunan harga-harga jual kebutuhan pokok masyarakat.

Tantangan ke depan semakin berat. Yang penting, kesadaran bersama di antara kita untuk berbuat lebih baik harus terus ditumbuhkan. Amanat konstitusi kita sudah jelas, yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.(*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D*
Guru Besar FE UKSW, Salatiga; Alumnus Tinbergen Institute, Belanda.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210592/38/