Semakin sering kita mendengar, betapa pihak pasien dirugikan oleh pihak layanan medis. Kesalahan medis atau biasa disebut juga “Mal Praktek” terjadi bila sesuatu yang sudah direncanakan sebagai bagian dari terapi pasien, tidak seluruhnya membuahkan hasil. Atau rencana terapi dokter sudah salah sejak awalnya, sehingga merugikan pihak pasien. Kesalahan medis dapat terjadi di bagian mana saja dari unit layanan medis, seperti rumah sakit, klinik, puskesmas, praktik dokter, rumah bersalin, atau di apotek, yang bisa menyangkut urusan obat, tindakan bedah, diagnosis, alat periksa, dan laboratorium. Di bawah ini, ada 20 cara praktis agar kesalahan medis tidak terjadi.
1. Merasa perlu terlibat atau dilibatkan pihak layanan medis untuk setiap keputusan yang akan diambil dalam upaya penyembuhan penyakit. Pasien punya hak untuk bertanya apa saja yang bersangkut-paut dengan kondisi kesehatan, dan setiap apa yang dokter pikirkan untuk melakukan suatu tindakan, pengobatan, atau apa pun lainnya. Selama dokter dalam proses menuju pengambilan keputusan, jangan sungkan untuk ikut terlibat atau minta dilibatkan, betapa sederhana pun keputusan yang dokter, atau perawat, bidan, akan ambil. Tanyakan pula apa bahaya atau yang mungkin akan terjadi andai tidak diberi obat atau tidak dilakukan tindakan. Keputusan dokter seberapa penting, dan seberapa risiko bahaya, serta efek samping yang diperkirakan bakal muncul. Adakah pilihan lain, dan seberapa daruratkah kalau masih ada waktu untuk menunggu.
2. Pastikan kembali bahwa dokter yang merawat mengetahui apa saja yang sudah pasien peroleh, baik dalam hal tindakan maupun obat-obatan sebelumnya. Kalau perlu, ulang kembali apa saja yang sudah diperiksa dan hasilnya, obatnya berapa macam, serta diet apa yang sudah ditempuh. Apakah ada obat lain, seperti jamu, obat alternatif (tidak boleh diam-diam kalau mengonsumsi obat Cina, misalnya). Bisa terjadi, ibu hamil minum obat Cina atau arak penguat sebelum persalinan, yang bisa berisiko buruk jika dikonsumsi ibu dengan riwayat pernah sectio atau pernah robek rahim. Sebaiknya beri tahu dokter sebelum mengonsumsinya. Jika berobat jalan, untuk pasien penyakit menahun, ada baiknya bawalah semua obat yang selama ini diminum agar dokter melihat sendiri, siapa tahu dokter sudah lupa atau luput harus memberi obat lain. Dengan demikian, dokter bisa membuat resume paling mutakhir rekaman medik obat dan pemeriksaan (tes) apa saja yang sudah pasien peroleh dan lakukan, sehingga tidak tumpang tindih, atau pasien luput mendapat obat atau pemeriksaan yang lengkap.
3. Pastikan pula dokter tahu persis apakah pasien mengidap alergi atau tak tahan terhadap obat-obatan tertentu. Tak jarang, apalagi di kita yang tidak memiliki "paspor kesehatan" dan belum memiliki dokter keluarga, biasa berpindah-pindah dokter, sehingga dokter belum tentu mengetahui seluruh kondisi pasiennya. Pihak pasien-lah yang perlu lebih cerewet menjelaskan status tubuh maupun kelemahan serta kerentanan tubuhnya sendiri. Punya sakit mag, tidak kuat obat sesak, tak cocok minum obat anu, dan seterusnya. Kasus alergi hebat yang bisa mengancam nyawa bisa terjadi pada mereka yang berbakat alergi (kasus Steven Johnson syndroma), kulit sekujur tubuh tumbuh gelembung-gelembung beberapa saat setelah mengonsumsi sejenis obat yang ia tak tahan menerimanya. Jika pernah alergi, pasien harus memberi tahu secara aktif kepada dokter yang memeriksanya.
4. Jangan sungkan bertanya apa nama obat yang diresepkan, supaya jika pihak apotik juga kesulitan membaca resep, pasien bisa membantu. Tak sedikit korban kesalahan membaca resep, apalagi jika pihak apotik tidak minta konfirmasi kepada dokter, saking cakar ayamnya tulisan dokter di resep. Fatal jika orang dengan tensi normal mendapat obat darah tinggi, atau penderita kencing manis mendapat obat gula.
5. Jangan pula sungkan berdiskusi dengan dokter, kendati dalam praktiknya tak mudah. Paling tidak, bertanya tentang obat yang diresepkan. Pasien berhak tahu, untuk apa obat yang diberikan, kenapa harus obat itu, berapa lama harus dikonsumsi, serta apa efek sampingnya. Apa pula yang harus dilakukan sekiranya efek samping muncul? Apakah boleh dicampur dengan obat atau diet lain. Makanan, minuman, dan kegiatan apa yang tak dibolehkan sehabis mengonsumsi obat?
6. Tanyakah pula kepada petugas apotik, apakah obat yang diberikan sesuai dengan resep dokter. Sekiranya ada obat yang diganti, sudahkah pihak dokter diberi tahu. Sebagian besar kesalahan ihwal obat terjadi di apotik. Kelalaian petugas apotik, kurang dihormatinya sikap patuh pada resep, dan tidak cermat menjelaskan pemakaian obat merupakan hal-hal yang perlu pasien cereweti.
7. Bila kurang mengerti membaca label pada kemasan obat, jangan ragu untuk bertanya. Tidak sedikit pasien yang kurang memahami instruksi yang tertulis pada label obat, seperti 3 X 2 tablet/sehari, atau 4 X 3 tetes telinga kanan/sehari, atau 2 X 2 kapsul/sehari. Kesalahan membaca instruksi akan berarti tidak tepatnya obat digunakan. Selain mengurangi efek kesembuhan, bukan tak mungkin kelebihan dosis.
8. Demikian pula dalam hal membaca takaran obat, khususnya obat dalam bentuk cairan. Yang sering terjadi, takaran sendok makan, sendok teh, dan berapa kali diminum sehari. Ukuran sendok rumah tangga tidak sama dengan ukuran sendok obat. Maka, lebih baik gunakan sendok obat (jika ada) daripada sendok dapur. Sendok makan obat berarti 15 ml dan sendok teh berarti 10 ml.
9. Dalam hal peringatan efek samping obat, sebaiknya pasien mencatat, efek samping apa saja yang mungkin muncul. Tidak semua orang sama respons tubuhnya terhadap obat yang sama. Ada yang lebih peka, ada yang tidak mengganggu, sehingga pengalaman orang lain belum tentu layak didengar. Yang punya sakit mag sebaiknya waspada jika diberi obat encok atau obat pereda nyeri. Tak salah untuk selalu memberi tahu kondisi lambung setiap berobat ke dokter yang belum mengenal kita. Tak jarang, mendadak mag kambuh sehabis minum obat dari dokter, karena kita tidak cerewet memberi tahu, sementara dokternya sendiri tidak berusaha untuk tahu.
10. Dalam hal memilih rumah sakit untuk melakukan tindakan medis apa pun, pikirkan untuk memilih rumah sakit yang sudah berpengalaman dalam tindakan yang harus kita tempuh. Misal untuk tindakan bedah tulang, carilah rumah sakit yang sudah sering melakukan tindakan tersebut. Demikian pula untuk tindakan-tindakan yang lebih khusus, lebih spesial, dengan risiko kegagalan yang tinggi. Tak ada salahnya selalu meminta pendapat kedua kepada dokter ahli lain.
11. Rumah sakit merupakan sumber berkumpulnya berbagai jenis kuman penyakit. Tak sedikit jenis kuman ganas yang sudah tak mempan dengan antibiotika biasa (nosocomial infections). Pastikan sewaktu pulang dari perawatan rumah sakit kita tidak membawa pulang kuman ganas ke rumah. Caranya, basuh tangan lebih bersih dengan antisepsis saat meninggalkan rumah sakit, termasuk berkeramas, menukar pakaian rumah sakit, dan langsung menukar pakaian lalu mencucinya setiba di rumah.
12. Sebelum pulang dari rumah sakit, tanyakan lebih rinci kepada dokter yang merawat, apa obat yang harus diminum di rumah, sampai berapa lama, dan apa yang harus dilakukan dengan bekas operasi, bekas tindakan. Apa yang harus dilakukan jika terjadi sesuatu dan kapan kembali kontrol, juga apa yang akan terjadi sehubungan dengan tindakan medis atau mengonsumsi bekal obat yang dibawa pulang.
13. Jika harus menjalani pembedahan, pastikan dokter, perawat, dan petugas kamar bedah tahu bagian tubuh dan sisi yang mana yang akan dibedah. Tak jarang, operasi dengkul sebelah kanan, dokter membedah dengkul yang kiri, atau dokter masih bertanya mau membedah apa setelah berada di kamar operasi, sehingga bikin pasien jadi sangsi. Etisnya, sehari sebelumnya dokter sudah memberi penjelasan rinci ihwal tindakan bedah yang akan dilakukan, berapa lama, dan apa yang akan terjadi sehubungan dengan tindakan bedah itu. Baru setelah itu surat pernyataan setuju pasien ditandatangani.
14. Apabila masih ada yang meragukan, belum jelas, atau ada kesangsian terhadap dokter, jangan ragu bertanya ulang sampai jelas benar. Misal, apakah pembedahan memang satu-satunya pilihan. Jika tidak dilakukan, apa akibat buruk medisnya? Tak jarang, sehabis dilakukan tindakan bedah atau tindakan medis, keadaan menjadi bertambah buruk. Bisa jadi malah sampai merenggut nyawa. Orang yang semula sehat, iseng-iseng diperiksa dan dilakukan tindakan (invasif) untuk memeriksa jantung, malah pulang tinggal nama.
15. Pastikan dokter yang merawat terus memonitor pasien sehabis melakukan tindakan medis. Di kita, dokter cenderung berpraktik pada lebih satu rumah sakit. Baru selesai membedah di rumah sakit A, sudah langsung pindah ke rumah sakit B. Tak jarang komplikasi suatu tindakan luput termonitor sebab dokter sudah tidak berada di tempat lagi. Perdarahan pascaoperasi, misalnya. Untuk itu, kita perlu memiliki informasi jadwal praktik dokter yang merawat kita setiap hari, di alamat mana saja, selain bisa dikontak di telepon atau ponsel berapa saja, untuk jaga-jaga seandainya terjadi sesuatu yang tak
diinginkan.
16. Selain dokter yang melakukan tindakan medis, pastikan semua perawat, petugas kamar bedah, dan semua yang terlibat, mengetahui segala hal-ihwal yang sudah dilakukan terhadap pasien. Maksudnya, agar sekiranya ada hal-hal atau komplikasi yang timbul beberapa waktu setelah tindakan medis, tak sulit menelusurinya. Rekam medik saja sering tidak cukup.
17. Pastikan ada yang mendampingi pasien saat komunikasi dengan dokter yang akan melakukan tindakan medis. Perlu dijalin komunikasi yang lancar dengan dokter sehubungan dengan tindakan medis yang akan dilakukan. Sehingga sekiranya terjadi penyimpangan, kejadian di luar rencana atau prosedur tidak akan sampai menimbulkan salah paham atau kecurigaan. Komunikasi dokter dengan pasien dalam transaksi medis akan menentukan kualitas layanan medis yang akan dihasilkan.
18. Jangan beranggapan bahwa semakin banyak tindakan, semakin banyak jenis obat diberikan atau pemeriksaan dilakukan, akan memberikan kebaikan bagi kesehatan. Sebaliknya, seberapa bisa sebaiknya membatasi tindakan medis, terlebih yang bersifat invasif (bedah, tindakan suntikan, pemeriksaan dengan radioaktif, pemeriksaan dengan cairan kontras, pemeriksaan dengan manipulasi bagian dalam tubuh). Kalau boleh tidak dilakukan, sebaiknya tidak dilakukan. Betapa enteng dan sederhana pun setiap tindakan invasif, seperti memasukkan pipa, selang, atau bahan pemeriksa ke dalam tubuh, selalu ada risiko jeleknya.
19. Setiap kali dokter meminta pemeriksaan, baik laboratorium, pemotretan organ, atau apa saja, pasien harus tahu hasilnya. Tentu perlu bertanya sebelum semua anjuran pemeriksaan itu dilakukan, apa tujuannya, dan apa yang diharapkan. Orang yang sudah jelas kanker paru-paru, buat apa diperiksa teropong bronchoscopy lagi, yang selain menambah biaya, berisiko memperburuk kondisi pula. Tanpa kabar medis dari dokter, bukan berarti selalu berita baik.
20. Kalau dokter melakukan tindakan medis atau pemberian obat yang merupakan penemuan baru atau peralatan medis baru, pastikan apakah temuan itu sudah aman dan menempuh uji klinis atau uji aman berdasarkan laporan ilmiah, dan sudah disetujui Badan Pengawasan Obat setempat atau internasional. Banyak kali terjadi, pasien menjadi kelinci percobaan untuk obat, teknik, atau cara pemeriksaan baru yang belum tentu aman dan sahih secara medis. Perlu bukti mutakhir bahwa apa yang dokter lakukan, kerjakan, dan berikan betul legal secara medis dan dinilai aman.
20 CARA HINDARI KESALAHAN MEDIS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments: (+add yours?)
Posting Komentar